Nisan, Hajatan, dan Tahlilan

Memasang batu nisan di atas kuburan diperbolehkan, sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut. Anas r.a. berkata, “Nabi saw. memberi tanda kuburan Utsman bin Madz’un dengan batu.” (H.R. Ibnu Majah).

Adapun hal-hal yang dilarang adalah mendirikan bangunan di atas kuburan, menduduki kuburan, dan menghias kuburan. Dari Jabir r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. melarang menulisi kuburan, mendudukinya, dan mendirikan bangunan di atasnya.” (H.R. Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Abu Dawud).

Jadi, sebaiknya batu nisan itu tidak ditulisi atau dibentuk menyerupai bentuk-bentuk yang berasal dari agama lain. Cukup batu saja diletakkan di atas kuburan sebagai ciri bahwa itu adalah kuburan. Adapun menabur bunga di atas kuburan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Rasul hanya mencontohkan memberi tanda kuburan dengan batu.

Bagaimana pandangan Islam terhadap hajatan kematian dan hal ini diniatkan ahli warisnya sebagai shadaqah?

Melaksanakan hajatan kematian adalah salah satu tradisi di Indonesia. Pelaksanaanya biasanya pada hari ketiga, kelima, ketujuh, bahkan hingga hari keempat puluh setelah kematian. Pertanyaannya, apakah dalam Islam hal seperti ini dibenarkan?

Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini. Pendapat pertama menyebutkan bahwa hajatan atau makan-makan setelah penguburan mayat hukumnya terlarang, karena hal itu dikategorikan sebagai ratapan kepada jenazah, padahal meratapi mayat hukumnya haram.

Perhatikan keterangan berikut. Jarir bin ‘Abdillah Al Bajali r.a. berkata, “... para sahabat menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga yang meninggal dan makan-makan setelah jenazah itu dikuburkan termasuk niyaahah (meratapi).” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).

Pendapat kedua menyatakan bahwa hajatan bagi jenazah itu hukumnya sunah kalau diniatkan shadaqah. Namun sayang pendapat kedua ini tidak menyertakan dalil-dalil yang meyakinkan. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan pendapat pertama lebih kuat daripada pendapat yang kedua. Apalagi kalau kita tela’ah kehidupan Rasulullah saw. dan para sahabatnya.

Saat Rasulullah ditinggal wafat istrinya, Khadijah r.a., beliau tidak melaksanakan hajatan apa pun, padahal kita tahu betapa besar cinta Rasulullah kepada istrinya tersebut. Begitu pula saat Rasulullah saw. wafat, tak seorang sahabat pun yang melaksanakan hajatan. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa hajatan setelah penguburan jenazah pada hari ketiga, kelima, ketujuh, dan hari-hari berikutnya, tidak pernah dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Wallahu A’lam.

Apakah tahlilan setelah kematian dicontohkan oleh Rasul?

Secara pribadi saya menghormati orang yang melakukan tahlilan. Tetapi berdasarkan ilmu, yang insya Allah validitasnya bisa dipertanggungjawabkan, di dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw., tidak pernah diceritakan bahwa Rasul melakukan tahlilan ketika orang-orang yang dicintainya meninggal.

Rasulullah saw. sangat mencintai istrinya, Khadijah r.a., tetapi beliau tidak mentahlilkannya. Rasul mencintai pamannya, Hamzah yang syahid pada perang Uhud, namun beliau pun tidak mentahlilkannya. Tidak ada satu pun riwayat yang sahih yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. mentahlilkan orang-orang yang meninggal. Para sahabat pun, ketika Rasulullah saw. wafat, juga tidak mentahlil­kannya.

Tarikh/sejarah Islam di atas sebagai fakta yang valid bahwa tahlilah dalam Islam itu tidak ada (tidak dicontohkan Rasul). Aisyah r.a. berkata, telah bersabda Rasulullah saw., “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal (ibadah) yang tidak pernah kami lakukan, maka amalannya itu ditolak.” (H.R. Muslim).

Rasulullah saw. adalah teladan bagi umat Islam di seluruh dunia. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw. itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al Ahzab 33: 21).

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Q.S. Ali Imran 3: 31)

Jadi, meneladani Rasulullah saw. adalah indikator keteguhan hati dan kecintaan kepada Allah. Dengan kata lain, kalau ingin dicintai Allah, kita harus berpegang teguh pada aturan-aturan Allah sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah saw. sebagai utusan-Nya. Apabila ada perselisihan dalam urusan mengamalkan perintah Allah swt., kembalikanlah pada Allah dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa 4: 59). Wallahu ‘Alam.

by Ust. Aam Amiruddin, M.Si